Ada sebuah kapal yang penulis sangat ingin menaikinya ketika
sedang berada di Dusun Padang Selatan. Sebuah perkampungan nelayan yang
terletak di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Kapal itu bukanlah
sampan, speed-boad, feri, ataupun yang mewah seperti kapal pesiar. Lantas kapal
apakah itu? Anda bisa menebak?
Kapal impian yang sedang bersandar di dermaga |
Kapal impian tersebut bernama bagan (di baca: bagang).
Bagi nelayan, bagan ini digunakan untuk mencari hasil laut seperti ikan atau cumi-cumi yang berada di laut dalam. Di Dusun Padang, banyak terlihat bagan-bagan yang terparkir disekitar dermaga. Hal itulah yang membuat gatal penulis untuk merasakan berlayar bersama kapal tersebut.
Bagi nelayan, bagan ini digunakan untuk mencari hasil laut seperti ikan atau cumi-cumi yang berada di laut dalam. Di Dusun Padang, banyak terlihat bagan-bagan yang terparkir disekitar dermaga. Hal itulah yang membuat gatal penulis untuk merasakan berlayar bersama kapal tersebut.
***
“Jreng..jreng...jreng...”
Bunyi gitar keluar dari hapeku, pertanda ada telepon yang masuk.
“Bro, mau naik bagan
gak?”
Ternyata panggilan itu berasal dari temanku si Ikhsan yang
mengajak untuk naik bagan sore ini. Dia diajak oleh Irsyad seorang anak di dusun
Padang yang keluarganya merupakan nelayan yang biasa mencari ikan atau
cumi-cumi dengan menggunakan bagan. Tanpa berpikir panjang, Aku pun langsung menjawab
dengan setengah teriak
“MAAUUU”
***
Selepas sholat ashar, kami bertiga, Aku, Ikhsan, dan Irsyad
menuju dermaga tempat bagan di parkir. Dermaga di Dusun Padang selatan terlihat
ramai oleh para nelayan yang sedang bersiap-siap untuk berlayar. Bagan-bagan
sudah ramai berjajar di tepi pelabuhan. Akhirnya Kami pun sampai di bagan milik
keluarganya Irsyad. Disana kami disambut oleh 5 orang anggota keluarganya si
Irsyad yang sudah ada didalam kapal.
Si Irsyad di atas bagan |
Sore itu, arus laut terlihat tenang. Angin pun berhembus
tidak terlalu kencang. Sementara matahari mulai bergerak perlahan ke arah
barat. Bagan secara perlahan mulai bergerak meninggalkan pelabuhan menuju laut
lepas. Bagan-bagan lainnya yang terparkir di dermaga pun juga banyak yang
bergerak. Semakin lama kami berlayar, pelabuhan tampak semakin jauh. Kemudian,
pemandangan pun berubah menjadi lautan luas yang berwarna biru.
Bagan lain yang juga berlayar |
Karena tertarik untuk menikmati pemandangan, Aku dan Ikhsan
pun naik ke atas ruang kemudi. Dan diatas sana kami ngobrol ngalor-ngidul
dengan kakaknya Irsyad sambil menikmati cemilan.
Menikmati cemilan |
“Ini untuk menangkap
cumi-cumi.”
Begitu penjelasan yang aku terima dari kakak Irsyad setelah
aku menanyakan fungsi dari lampu tersebut. Rupanya cumi-cumi merupakan hewan
yang tertarik terhadap cahaya. Lampu tersebut nantinya akan dipasang di samping
kapal. Sistem kerjanya, nanti ketika di daerah yang di duga merupakan markas
cumi-cumi, lampu tersebut dinyalakan dan cumi-cumi yang tertarik dengan cahaya
lampu akan mengikutinya.
Penampakan lampu si penarik perhatian cumi-cumi |
Cahaya di langit pun semakin meredup. Dari arah barat tampak
sinar oranye berbentuk bulat yang mulai tenggelam. Semakin lama semakin tenggelam
sinar tersebut. Hingga akhirnya benar-benar hilang dari pengelihatanku. Dan itu
merupakan tanda bagi kami untuk menunaikkan kewajiban melakukan sholat magrib.
Menikmati sunset dari atas bagan |
“Kalau mabuk masuk aja
ke dalam.” Kata kakak si Irsyad menyarankan kepada Aku dan Ikhsan untuk
masuk ke dalam ruang kemudi apabila mabuk laut.
Biasanya orang yang baru pertama kali naik bagan akan
mengalami mabuk laut. Apalagi untuk newbi
seperti Aku dan Ikhsan yang merupakan orang daratan tulen. Tapi aku sama sekali
tidak merasakan mabuk laut dan aku punya keyakinan 100% tidak akan pernah
mengalami itu, meskipun baru pertama kali berlayar (sombong sedikit).
“ Woi, ayo turun,
makan dulu kita.”
Makan malam pun tiba. Dari atas ruang kemudi aku melihat
rantang sedang disiapkan dan isinya beberapa makanan yang menggugah selera. Kami yang berada di atas pun turun ke geladak
kapal tempat makanan di siapkan.
Si Ikhsan lagi "menyikat" makan malam |
Namun, tiba-tiba, ketika berada di geladak, kepalaku serasa
berputar dan rasanya ingin muntah. Mabuk laut mulai menghampiri diriku. Ternyata
aku bisa juga mabuk laut. Ketika berada di geladak, aku baru menyadari kalau bagan
bergoyang-goyang mengikuti arus laut. Goyangannya lebih kencang daripada sebelumnya
karena saat ini bagan sedang berada di laut lepas. Angin pun berhembus lebih
keras dari waktu sore tadi. Ternyata itu semua cukup membuatku mabuk laut +
masuk angin.
Ketika makan malam, selera makanku menjadi hilang. Lauk-pauk
yang enak tak mampu menyemangatiku untuk makan banyak. Ketika itu, yang aku
rasakan adalah goyangan yang kencang dan kepala yang berputar-putar. Akhirnya, setelah
lama menahan, “telor” itu pun pecah juga. Aku ingin mengeluarkan isi perutku!
Sambil berpura-pura sakit perut, Aku beranjak pergi ke
belakang kapal, dan disana.......
“Hoeeekkk....”
Setelah, isi perutku terkuras habis, Aku pun kembali untuk
meneruskan makan malam yang belum habis. Selepas makan, kami pun
ngobrol-ngobrol kembali. Dan salah seorang berkata kepada kami,
“Wah, hebat, gak pada mabuk
ya. Padahal kalo orang yang baru pertama kali, biasanya mabuk lho.”
Aku pun cuma ngangguk-ngangguk sambil mesam-mesem. Padahal
baru saja aku muntah, hehe....
Selesai makan aku pun
naik kembali nongkrong di atas ruang kemudi, karena kalau tetap di geladak, mabukku
bisa bertambah parah.
Selepas makan malam, awak kapal pun mempersiapkan segala
peralatan untuk menangkap cumi-cumi. Jala di turunkan, lampu di pasang di
samping dan depan bagan, dan kami semua mulai mengawasi apakah ada cumi-cumi
yang terlihat atau tidak.
Lampu yang digunakan untuk menarik perhatian cumi-cumi |
Bagan terus berjalan dengan pelan. Setelah beberapa lama
kami menunggu mulai terlihat cumi-cumi di sekitar bagan. Ternyata benar, cumi-cumi
tersebut mengikuti cahaya yang dipancarkan. Semakin lama bagan berjalan,
semakin banyak cumi-cumi yang menjadi follower
bagan kami. Setelah dirasa cumi-cumi yang menjadi follower cukup banyak, proses penarikan jala di mulai.
Proses penarikan jala |
Kalau dilihat sepintas, proses penarikan jala sepertinya
mudah, hanya memutar tuas yang berfungsi sebagai alat untuk menarik jala.
Namun, kalau mencobanya sendiri, alat tersebut rasanya berat sekali. Butuh tenaga
yang besar. Maka dari itu, proses memutar tuas dilakukan lebih dari satu orang.
Dan ketika memutar tuas tidak boleh terlepas, karena kalau terlepas, jala akan
kebali turun dan itu bisa menyebabkan cumi-cumi hasil tangkapan menjadi kabur
semua.
Menarik jala |
Setelah proses
perjuangan menarik jala selesai, terlihat cumi-cumi yang tertangkap di jala.
Cumi-cumi yang tertangkap di jala |
Kemudian proses selanjutnya menyerok cumi-cumi yang ada di
jala dengan saringan dan kemudian dipindahkan ke kotak sterofoam yang sudah
berisi es.
Cumi-cumi yang berhasil ditangkap |
Setelah proses penangkapan pertama dilakukan, jala kembali di
turunkan. Sambil menunggu proses penangkapan yang kedua, kami semua beristirahat
sambil membakar beberapa cumi-cumi yang telah ditangkap. Proses bakar-membakar
berlangsung diatas kapal. Kami pun, berpesta beberapa cumi-cumi yang baru di
tangkap.
Proses pembakaran cumi-cumi |
Cumi bakar siap makan |
Proses penangkapan cumi-cumi pun berlangsung hingga dua
kali. Dan ketika pukul 02.00-03.00. Bagan kami dihampiri oleh perahu motor yang
ukurannya lebih kecil. Aku pun penasaran dengan siapa yang datang menghampiri
di tengah malam begini. Apalagi kalau pernah menonton film Captain Philips yang berkisah tentang perompak Somalia. Disana
dikisahkan para perompak menaiki kapal-kapal kecil dan mengejar kapal yang
berukuran lebih besar. Kemudian mereka merapat ke kapal, menaiki kapal, dan
menodongkan senjata kepada kru di dalam kapal. So, apakah yang datang
malam-malam begini adalah para perompak?
Ternyata bukan, mereka bukanlah perompak seperti yang di
film. Lagipula buat apa mereka merompak bagan penangkap ikan seperti ini.
Mereka yang datang adalah para pedagang yang bertujuan untuk membeli cumi-cumi.
Ternyata, cumi-cumi yang kami tangkap ini di jual langsung di atas kapal.
Dengan bermodalkan keranjang dan timbangan, para pedagang ini mulai melakukan
negosiasi.
Pedagang tersebut berasal dari Bulukumba. Mereka membeli
cumi-cumi dari atas kapal dan nanti akan menjualnya ketika berada sudah sampai
di daratan. Ketika Aku menanyakan kepada kakak Irsyad, mengapa mereka
repot-repot mau naik perahu malam-malam begini, hal itu karena harga cumi-cumi
yang dibeli diatas kapal lebih murah dibandingkan saat sudah berada di daratan.
Malam itu, cumi-cumi yang dijual hanya sebanyak satu
keranjang saja. Satu keranjang cumi-cumi dijual seharga 800 ribu. Ketika itu,
aku langsung berpikir apakah itu harga yang pantas? Mengingat proses
menangkapnya yang susah, belum lagi bahan bakar yang di beli, dll.
Sekeranjang cumi-cumi yang akan di jual |
Hasil tangkapan kami malam ini, tergolong sedikit. Menurut
salah seorang saudaranya Irsyad, hasil tangkapan yang sedikit ini tergolong
wajar, karena sekarang sudah purnama ketiga. Hasil tangkapan yang banyak ketika
awal bulan hingga purnama pertama. Dia menjelaskan kalau waktu awal bulan,
mereka bisa menjual cumi-cumi berkeranjang-keranjang.
Aku pun menanyakan, bagaimana jika hasil cumi yang didapat
sedikit, apakah mereka akan tetap mencari atau tidak melaut sama sekali.
“Kalau misal cumi-cumi
yang di tangkap sedikit, biasanya kita juga menangkap ikan.”
Namun sayang, kejadian kurang enak menimpa para pemburu
cumi-cumi ini. Kapal yang kami gunakan mengalami kerusakan mesin, sehingga
proses pencarian cumi-cumi berakhir sampai disini. Kapal pun kembali lagi
menuju dermaga di Dusun Padang.
Dari perjalanan malam ini, aku mendapatkan pelajaran, bahwa ternyata
ada benarnya kata-kata
”Jangan pernah menyia-nyiakan
makanan.”
Selain mubazir, ternyata bisa jadi proses mendapatkan bahan
makanan tersebut lebih sulit daripada saat kita memakannya. Boleh jadi kita Cuma
perlu menggoreng, merebus, atau memanggang suatu bahan makanan untuk dapat
memakannya. Namun, boleh jadi bahan makanan tersebut di peroleh dengan sangat
sulit, seperti harus mengeluarkan tenaga besar selama berjam-jam, rela begadang
di saat orang lain tidur, bahkan sampai menantang maut. Coba bayangkan kalau
misal lagi proses mencari cumi-cumi, saking ngantuknya kemudian kecebur dilaut
lepas seperti itu. Pulang-pulang bisa tinggal nama. So, karena itulah sebisa
mungkin jangan sampai kita menyia-nyiakan makanan.
Setelah, proses pencarian tidak bisa dilanjutkan lagi. Kami semua
(kecuali nahkoda) pun tidur karena sangat lelah. Apalagi tidur merupakan obat
mujarab untuk mengatasi mabuk laut. Ketika
kami bangun, matahari mulai terlihat bersamaan dengan pelabuhan Dusun Padang
Selatan. Perlahan-lahan kapal pun
merapat di dermaga. Hal itu menjadi pertanda berakhir pula perburuan cumi-cumi
ini. Dan tercapailah mimpiku untuk naik di kapal impian yang bernama bagan.
cukup menarik ceritanya gan... thanks sudah berbagi cerita...
BalasHapusCukup memberi informasi karena suami saya kerja di kapal pencari cumi di merauke...
BalasHapusCukup memberi informasi karena suami saya kerja di kapal pencari cumi di merauke...
BalasHapus