Pages

Ads 468x60px

Labels

About Me

Foto Saya
Brutal... Tentu bukan itu kesan pertama yang orang lihat tentang saya. Saya cuma orang yang suka keluyuran dan ingin berbagi pengalaman keluyurannya. Harapannya bisa bermanfaat walaupun cuma untuk satu orang saja.

Kamis, 01 Mei 2014

Bersahabat dengan Gunung Sindoro




Apa yang ada didalam benak Anda kekita mendengar kata mendaki gunung.....

Berbahaya? Tanjakan? Terjal? Capek? Ekstrem?

Bagi kebanyakan orang, mendaki gunung merupakan suatu kegiatan yang sangat berbahaya untuk dilakukan.
Mengingat medan yang terjal dan cuaca yang tidak menentu, selalu menemani pendaki ketika melakukan kegiatan pendakian. Tetapi, kegiatan mendaki gunung ternyata juga mempunyai banyak manfaat yang bisa di dapatkan, seperti memahami arti sebuah perjalanan, menyaksikan pemandangan indah, dan mendekatkan diri dengan Sang Pencipta. Namun sayangnya, manfaat tersebut, tidak akan bisa di mengerti oleh seseorang, apabila hanya di jelaskan sekedar kata-kata saja.

Sering penulis mendapatkan banyak pertanyaan dari orang-orang di sekitar, seperti,

“Mengapa banyak orang senang naik gunung?”
“Ngapain sih naik gunung itu?”
“Emang di atas gunung ada apaan sih, kok banyak yang naik ke sana?”

Pertanyaan paling baru penulis dapatkan, berasal dari teman se-profesi yang begitu penasaran mengenai hobi penulis yang satu ini. Karena sulit dan bingung untuk menjelaskan tentang kesenangan dari kegiatan tersebut, langsung saja penulis mengajak teman tersebut untuk merasakan sendiri, seperti apa rasanya mendaki gunung itu. Banyak orang yang berkata bahwa seseorang haruslah mencoba sendiri melakukan pendakian, apabila ingin mengerti seperti apa “kenikmatan” dari mendaki gunung itu.

Menjelang akhir tahun 2013, penulis beserta 3 orang teman, mencoba melakukan kegiatan mendaki gunung. Dua diantara tiga teman tersebut, belum pernah sekali pun mencoba kegiatan mendaki gunung, sehingga mereka terlihat sangat antusias dalam melakukan kegiatan ini. Gunung yang akan kami coba untuk bersahabat dengannya – istilah yang kami gunakan ketika menjelajah suatu alam bebas-, yaitu gunung Sindoro, yang ada di daerah Temanggung dan Wonosobo.

Pendakian kami lakukan selama 3 hari 2 malam. Jalur yang kami lalui, yaitu jalur Kledung yang menurut sebagian besar pendaki merupakan jalur yang paling mudah dibandingkan jalur yang lainnya.
Plang basecamp kledung

Sabtu malam, tepat pada pukul 21:00, kami berempat mulai melakukan pendakian dari basecamp yang terletak persis di sebelah kantor Desa Kledung. Setelah hampir 1,5 jam dari basecamp, kami baru memasuki pos 1. Di pos 1 ini, ada diantara kami yang sudah merasakan lelah yang luar biasa. Ditambah rasa kantuk yang mulai kami rasakan. Akhirnya, kami memutuskan untuk beristirahat di Pos 1 dengan mendirikan sebuah tenda/ dome yang cukup untuk menampung kami berempat.

Keesokan harinya, pada pukul 08:00, ketika udara sudah tidak terlalu dingin, kami kembali lagi melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung Sindoro. Setelah kurang lebih satu jam kami berjalan, tibalah kami di pos 2.


Suasana di pos 2

Pos 2 ini di tandai dengan sebuah gubuk yang berdiri di sebuah shelter yang kira-kira cukup untuk membangun 5 dome di sana. Di pos ini, kami beristirahat selama 30 menit untuk mengatur nafas dan mengumpulkan tenaga. Setelah itu, barulah, kami kembali melanjutkan perjalanan.

Perjalanan dari pos 2 menuju pos 3, kami tempuh dalam waktu kurang lebih 2 jam. Hal ini karena track yang sedikit menanjak, sehingga mengharuskan kami untuk berhenti sesekali untuk mengatur nafas dan membasahi tenggorokan yang kering. Pos 3 merupakan setengah perjalanan menuju puncak sindoro. Di pos 3 ini, di tandai dengan adanya shelter yang sangat luas. Dimana para pendaki biasa membuat camp disini. Begitu sampai di pos 3 ini, kami pun langsung mendirikan dome dan beristirahat sejenak. Karena berdasarkan informasi yang kami dapatkan, setelah pos 3 menuju puncak, track akan lebih terjal, sehingga kami perlu mengumpulkan tenaga kembali.

Sekitar pukul 14:00, kami kembali mulai melakukan pendakian. Sayangnya, pendakian menuju puncak, hanya dilakukan oleh tiga orang diantara kami. Karena suatu hal, salah seorang diantara kami memutuskan untuk tinggal di pos 3 ini. Berbekal beberapa lembar roti tawar sebagai bekal makan dan 3 liter air mineral, kami bertiga kembali melanjutkan perjalanan dari pos 3 menuju pos 4 yang juga di kenal dengan pos watu tatah. Perjalanan menuju pos 4 cukup melelahkan karena track yang dilalui cukup terjal dan berisi besar batu-batu besar.


Track di antara pos 3 dan pos 4 

Perjalanan menuju pos 4, kami tempuh dengan waktu kurang lebih 1,5 jam. Di perjalanan, kami banyak berhenti untuk minum, mengatur nafas, dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Pada track menuju pos 4 inilah, kami mulai merasakan kesulitan bernafas, karena semakin keatas, oksigen yang ada semakin menipis. Gejala dari hal tersebut, yaitu kami mulai merasakan pusing. Oleh sebab itu, kami memutuskan untuk banyak berhenti.

Pos 4 dikenal juga sebagai watu tatah, karena ada batu besar yang ada di pos tersebut. Sampai di pos 4, kami tidak berhenti, tetapi kembali melanjutkan perjalanan. Keputusan ini kami buat mengingat hari yang semakin sore. Karena apabila matahari sudah tidak terlihat, pendaki dihimbau untuk tidak berada di puncak. Kencangnya angin dan gas beleranglah yang menjadi alasan di balik adanya himbauan itu.

Hari semakin sore. Jam tangan menunjukkan saat ini pukul 16:30. Artinya, sudah 1 jam kami berjalan dari pos 4. Selain itu, berarti juga bahwa waktu yang kami miliki semakin sempit. Perjalanan dari pos 4 menuju puncak kurang lebih memakan waktu 2,5 jam. Kira-kira kami perlu berjalan 1,5 jam lagi untuk mencapai puncak.

Ketika kami terus berjalan mengikuti track yang ada, tibalah kami di padang edelwis yang menghubungkan pos 4 dan puncak sindoro. Namun, ditengah perjalanan, tiba-tiba kabut turun dengan cepat sehingga daerah sekitar menjadi tidak terlihat. Melihat situasi tersebut, kami memilih untuk beristirahat sejenak di sebuah tempat yang agak terbuka. Selain itu, istirahat kami perlukan karena rasa lelah sudah kami rasakan. Ketika istirahat tersebut kami bertemu dengan rombongan pendaki lain yang baru saja turun. Pendaki tersebut bercerita kalau di puncak sudah tertutup kabut dan bau gas belerang sudah tercium sangat tajam.

Mendengar informasi tersebut, nyali kami sempat ciut dan mulai terbesit rasa putus asa di hati kami. Ada bisikan untuk tidak jadi naik ke puncak dan lebih baik untuk kembali saja ke pos 3. Sebetulnya, kondisi fisik yang sudah sangat lelah-lah yang menyebabkan kami mulai berpikir hal tersebut. Setelah, beristirahat sejenak dan berdiskusi di antara kami bertiga, diputuskan bahwa kami melanjutkan perjalanan menuju puncak. Perjalanan menuju puncak cukup melelahkan, tetapi cukup menyenangkan bagi kami. Hal itu karena pada track menuju puncak ini, mulai terlihat banyak tanaman edelwies yang menjadi salah satu objek yang ingin dilihat oleh para pendaki. Tetapi sayangnya, kami tidak menjumpai edelwies yang sedang berbunga. Selain edelwies, ada pula tanaman cantingi yang juga hanya dapat dijumpai pada ketinggian sekitar 2400 mdpl ke atas saja.

Tanaman Edelwies di Sindoro

Akhirnya, pada pukul 18:00, kami bertiga tiba di tempat tertinggi dari gunung Sindoro (3150 mdpl).

Kawah gunung Sindoro

Seketika itu pula, segala lelah yang kami rasakan benar-benar hilang seketika. Tidak terasa lelah yang kami rasakan ketika terus-terusan menanjak selama 4 jam dari pos 3. Di atas puncak sindoro ini, kami pun beristirahat sejenak sambil merasakan keindahan kawah gunung sindoro, serta panorama indah lainnya yang hanya dapat di lihat dari atas gunung sindoro.

Ketika di puncak sindoro itulah, kami betul-betul merasakan dan mengerti, betapa besarnya Sang Pencipta itu dan betapa kecilnya kami ini sebagai ciptaan-Nya. Saat di puncak itu juga, runtuh segala kesombongan yang kami miliki. Di sana, kami benar-benar memahami, maksud perkataan dari banyak pendaki, bahwa puncak gunung dapat membuat diri kita dekat dengan-Nya.

Setelah melalui itu semua, banyak pelajaran yang kami dapatkan di atas gunung Sindoro ini. Teman penulis, akhirnya berhasil menjawab sendiri pertanyaannya mengenai seperti apa “kenikmatan” yang didapat dari mendaki gunung itu. Atau istilah yang kami pakai, yaitu bersahabat dengan gunung. Dan bermula dari kejadian itulah, teman penulis tersebut ingin sekali mencoba bersahabat dengan gunung dan alam bebas yang lainnya.

Petualangan masih terus berlanjut......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates